a. Pengertian filsafat
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak
didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan
argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari
proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika.
Filsafat
pendidikan merupakan aplikasi filsafat dalam pendidikan (Kneller, 1971).
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya
menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi
masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak
dibatasi pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat
dijangkau oleh sains pendidikan.
Ditinjau dari
berbagai macam aspek filsafat memiliki banyak aliran salah satunya iyalah
aliran filsafat Konstruktivisme
b. Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv
berarti bersifat membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam
kamus Bahasa Inonesia berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan
aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan
hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001: 3).
Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan bahwa anak-anak diberi
kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar,
sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi (Slavin dalam Yusuf, 2003). Tran Vui juga mengatakan bahwa teori
konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Sedangkan menurut Martin. Et. Al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) mengemukakan bahwa
konstruktivisme menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengkonstruksikan
pengetahuan melalui hubungan saling mempengaruhi dari belajar sebelumnya dengan
belajar baru. Konstruktivisme merupakan paradigma alternatif yang muncul
sebagai dampak dari revolusi ilmiah yang teradi dalam beberapa dasawarsa
terakhir (Kuhn dalam Pannen dkk. 2000: 1).
Pendekatan konstruktivisme menjadi landasan terhadap berbagai seruan dan
kecenderungan yang muncul dalam dunia pembelajaran, seperti perlunya siswa
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran, perlunya siswa mengembangkan
kemampuan belajar mandiri, perlunya siswa memiliki kemampuan untuk
mengembangkan pengetahuannya sendiri, serta perlunya pengajar berperan menjadi
fasilitator, mediator dan manajer dari proses pembelajaran.
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Gimbatissta Vico, epistemology
dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.
Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain
halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus
menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal
orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan
estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget
ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Tokoh dalam aliran
Konstruktivisme
Menurut J. Piaget
Teori perkembangan
kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan
orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu
sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi
konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12
tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan
perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan
lingkungan (Slavin, 2000).
Aliran Filsafat
Konstruktivisme Dalam Keilmuan
A. Ontologi
Cabang utama metafisika adalah ontologi,
studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan
lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia
mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan
sebab akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian
kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1)
Paham monisme yang terpecah menjadiidealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang
kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa
diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada
jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang
berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan
lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme,
naturalisme, empirisme.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that
investigates the origin, nature, methods
and limits of human knowledge). Epistemologi
juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”,
“pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilrniah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi
adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui
sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?; 4) Bagaimanakah
validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori(pengetahuan
pra-pengalaman) dengan pengetahuan a
posteriori (pengetahuan puma
pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat,
fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian,
kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain
berpikir deduktif dan induk-tif Berpikir deduktif memberikan sifat yang
rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan
yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan
ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan
koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang
berada dalam fokus penelaahan.
C. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti
nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian
maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162).
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel
dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan
etika; Keduei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang
akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Dalam Encyclopedia
of Philosophy dijelaskan
bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation.Ada
tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata
benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam
perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan
terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya,
ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar
epistemologi raja: Jika hitam
katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt yang nyata.
Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai antara yang baik dan yang
buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri,
2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan
ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai
landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka
peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang
mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein
(Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada
ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan
nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan
teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial,
manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai
profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga
kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi,
manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien
menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan;
(4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai
ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan
keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama:
dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya
yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai
lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C 1993).
Referensi :
PGSD 3C/22,089653245234